ARSITEKTUR PERMUKIMAN TRADISIONAL CINA DI KAWASAN PECINAN SEMARANG
ABSTRAK
Arsitektur permukiman tradisional Cina,
dapat dikenali dengan beberapa parameter pokok. Parameter ini menurut
beberapa kajian teori adalah struktur dan bentuk kota, jaringan jalan,
lokasi dan posisi klenteng, tipe dan arsitektur bengunan, orientasi dan
arah hadap, serta sistem simbol yang terkait dengan bentuk, fungsi dan
warna. Dengan menggunakan metode deduktif kualitatif rasionalistik,
parameter-parameter yang masih dapat ditemui di kawasan permukiman
Pecinan Semarang adalah struktur jalan yang berbentuk grid, klenteng di
ujung gang, dan rumah tipe courtyard dan ruko masih bisa si jumpai di
kawasan ini, walaupun jika dicermati lebih dalam, beberapa pengaruh
budaya moderen dan Jawa juga sudah mulai terasa. Dari sisi penerapan
fengsui, walaupun masyarakat saat ini tidak mengerti mengapa dan kenapa,
tetapi jika di telusur, konsep utara-selatan, peletakan benda penangkal
hawa buruk baik berupa klenteng di ujung gang, patung sepasang singa,
tulisan kaligrafi lilian tui, gambar patung penjaga pintu dan
pewarnaan merupakan bebarapa contoh dari penerapan ilmu Feng Shui yang
sampai saat ini masih mereka jalankan. Terkait sengan penerapan sistem
simbol, tidak ada perbedaan dengan negeri asal, mengingan bahan dan
pemahat langsung didatangkan dari Cina
I. PENDAHULUAN
Ruang dicipta atau tercipta dari
pemikiran manusia. Penciptaan maksud ruang berdasarkan norma-norma dan
nilai-nilai kebudayaan. Ruang merupakan aspek dari lingkungan yang
sangat penting. Hal ini bukan sebuah konsep yang umum atau simpel. Ruang
lebih dari sekedar ruang fisik 3 dimensional. Pada waktu dan konteks
yang berbeda akan menghasilkan jenis ruang yang berbeda, dan hal ini
merupakan isu desain yang penting (Rapoport, 1967).
Permukiman Pecinan Semarang, merupakan
salah satu bentuk perwujudan dari norma dan nilai-nilai budaya kaum
imigran Tionghoa yang mendarat di Semarang. Kawasan ini memiliki tatanan
yang unik, sebagai perwujudan jiwa kaum ini. Banyak hal-hal yang unik
yang dapat ditemui di kawasan ini. Hanya sangat disayangkan kebijakan
Orde Baru telah banyak menghapus keunikan akan kawasan ini.
Selain itu tuntutan perkembangan
aktivitas perekonomian juga semakin mendesak ruang-ruang tradisional
yang didesain oleh masyarakat. Upaya revitalisasi kawasan juga lebih
banyak menggunakan teori yang hanya didasarkan pada tradisi disain
tingkat tinggi (hight-design traditions) dengan teori-teori
yang menitik beratkan pada hasil pekerjaan perencana dan perancang kota
yang lelah banyak mengabaikan lingkungan-lingkungan yang didesain oleh
rakyat biasa atau tradisi populer masyarakat. Kondisi ini tentu
menyebabkan makin kaburnya karekter budaya dan ruang tradisional pada
permukiman Pecinan Semarang.
Studi ini dilakukan guna mengungkap sisi
unik yang masih tertinggal terkait dengan arsitektur permukiman
tradisional Cina di kawasan Pecinan Semarang. Melalui metode deskriptif
rasionalistis dengan teknik analisis deskriptif empiri, diharapkan
pemahaman akan arsitektur permukiman Tradisional Cina di Pecinan
semarang dapat teridentifikasi kembali.
Secara sederhana proses penggunaan metode ini dalam studi di Budaya dan Permukiman Tradisional Cina adalah sebagai berikut:
Gambar 1.1. Diagram Metode Deduktif Rasionalistis
Sumber: Sudaryono (2006)
Melalui pendekatan di atas dan dari kajian teoritik yang dilakukan
pada Bab II, maka analisis (verifikasi parameter) yang akan dilakukan
dalam studi ini dapat dilihat pada tabel berikut:Tabel III.1. Matrik Parameter Analisis
Teori
|
Konsep
|
Parameter
|
Budaya dan Arsitektur Permukiman Tradisional Cina
|
Permukiman Tradisional
|
Struktur/Bentuk Kota
|
Struktur Jaringan Jalan
|
||
Lokasi dan Posisi Klenteng
|
||
Tipe dan Arsitektur Bangunan:
a. Courtyard garden
b. Shophouse
|
||
Ajaran Feng Shui
|
Orientasi dan arah hadap
|
|
Prinsip keseimbangan
|
||
Sistem Simbol
|
Bentuk
|
|
Fungsi
|
||
Warna
|
Sumber: Diolah dari Sudaryono, 2006 dan beberapa Teori Asitektur Tradisional China
II. KAJIAN TEORI
2.1. Permukiman Tradisional Cina
2.1.1. Struktur Kota
Kota
benteng telah ada di negeri Cina pada masa Dinasti Shang (sekitar 1660
S.C atau 100 A.C.). Sepanjang periode Zhdu Barat sampai periode Negara
Perang (dari sekitar 1100 B.C. sampai 221 B.C.), sudah menjadi suatu
tradisi kota besar dibangun berdasarkan atas kepentingan politis,
militer, dan prinsip dan kebutuhan ekonomi, prinsip klasifikasi dan
tingkatan telah dirumuskan pada bab Xangren, di catatan negara Kaogong ji
juga membahas prinsip-prinsep perencanaan kota dan permasalahan dari
klasifikasi dan hirarki kekotaan yang menjadi bahan pertimbangan
pembangunan perkotaan pada masa berikutnya.
Di
Negeri China pada jaman kuno, 4 kota kecil akan dibangun bersama-sama
dengan sebuah kota besar atau kota ukuran sedang. Kantor pemerintah dan
Istana akan ditempatkan di dalam kota yang lebih kecil yang disebut gonqcheng (palace-cas/kota istana), yacheng (government-city/kota pemerintahan),atau zicheng (kota kecil).
Setelah abad yang kedua sebelum masehi, kota yang ukurannya lebih kecil (lifang atau fang) kebanyakan
diposisikan di dalam kota yang lebih besar, kadang-kadang diletakkan
pada poros/pusat kota. Dari awal mula Negara Yang (475 B.C. – th 960)
daerah permukiman pada umumnya dibagi menjadi area segi-empat yang
dikelilingi oleh dinding benteng, dengan gerbang pada empat sisi yang
bisa tertutup pada malam hari.
Dengan jalan berola grid, fang
akan terbentuk dengan sendirinya di pusat kota dan pola kotak ini akan
menampakkan keteraturan. Daerah Yang komersil di dalam kota besar
disebut dengan shi dan didalamnya ada kota
yang lebih kecil yang dikelilingi oleh dinding benteng dengan akses yang
terbatas (pintu di buka pada jam tertentu). Kota besar dengan pola
seperti disebut lifangzhi chengshi.
Pada
masa Dinasti Song dari Utara (pertengahan abad ke sebelas), pertumbuhan
ekonomi dan aktivitas masyarakat akhirnya menerobos gerbang pembatas
dan batasan waktu. Dinding pasar dan bangsal diruntuhkan, sehingga jalan
di perumahan bisa langsung berhubungan dengan jalan utama yang dipenuhi
oleh aktivitas pertokoan. Kota besar macam ini disebut Jiexianqzhi chengshi (street-and-lane-system city)
Selain
desain kota yang koheren, kota juga diatur oleh prinsip-prinsip
perencanaan yang sederhana dengan menggunakan aturan organisasi sosial
jaman kuno. Prinsip-prinsip ini diantaranya diwujudkan dalam konsep
dinding tertutup/pagar keliling, orientasi utara selatan, jalan yang rectiliniear atau checkerboar (papan catur) dan rumah-rumah dengan halaman yang dikelilingi pagar/dinding (courtyard urban dwelling)(Nobert,1992).
2.1.1. Pola Jaringan Jalan Berbentuk Grid/Rectalinear dan Lansekap Kawasan
Jalan-jalan
di kota China biasanya membujur dari utara-selatan dan barat-timur,
pola ini akhirnya membentuk sejumlah blok besar. Jalan utama/primer
adalah jalan masuk kota, jalan sekunder dalam jaringan ini tidak begitu
tersistematik sebagai elemen utama yang berada dalam blok kota adalah
perumahan. Konsekuensinya jalan sekunder sering terputus di tikungan
atau jalan sempit, tempat jalan berakhir (jalan buntu).
Jalan kota berfungsi sebagai pasar (market place).
Pada kota-kota yang lebih kecil aktivitas komersial terpusat di
sebagian kecil dari jalan-jalan sedang pada kota yang lebih besar
seluruh kawasan (district) digunakan untuk aktivitas komersial
yang intensif. Setiap jenis aktivitas komersial terkumpul pada sebuah
jalan mengelompok sesuai dengan jenis usaha atau perdagangan spesifik/kawasan bisnis (businness districts). Pemilik toko di beberapa ruas jalan akan sering membentuk asosiasi untuk melindungi keuntungan mereka.
2.1.2. Lokasi dan Posisi Klenteng
Di
luar jalan-jalan utama, di perkampungan padat penduduk dengan
rumah-rumah kecil, selalu dilengkapi dengan kuil kecil/klenteng.
Klenteng pada permukiman tradisional dapat ditemui disepanjang jalan
utama kawasan atau pada perempatan/persimpangan atau pada tikungan jalan
sempit/gang (temples in this neighborhood are found along main streets or at intersections or bends in the smaller lanes).
Demikian
juga dengan ruang-ruang di ujung jalan (ruang yang tusuk sate) juga
dimanfaatkan sebagai ruang untuk bangunan kuil/klenteng.
Klenteng-klenteng ini berfungsi sebagai sebagai pusat kegiatan social
dari masyarakat sama baiknya sebagai tempat melakukan aktivitas kerja
bersama. Guna lebih jelasnya karakter ini dapat dilihat pada gambar
berikut:
2.1.1. Tipe dan Arsitektur Bangunan Tradisional
2.1.1.1. Rumah Tradisional Courtyard
Courtyard merupakan tipe bangunan rumah tunggal besar terdiri atas ruang untuk penggunaan berbeda, beberapa rangkaian halaman (courtyard) yang tersusun menjadi satu. Ukuran yang diterapkan dalam rangkian ini adalah jian, yang berhubungan satu dengan yang liannya menjadi satu bangunan besar dan menciptakan suatu halaman di antara bangunan.
Kebanyakan halaman diorientasikan utara selatan dengan bangunan yang paling utama disebut zhengfang, yang diletakkan pada bagian tengah di sisi utara, menghadapi selatan. Di depan zhengfang, pada sisi barat dan timur terdapat bangunan yang lebih kecil yang berhadapan satu sama lain yang disebut xiangfang atau sayap sedang sepanjang selatan membingkai dari bundel menjadi nafang atau bangunan di sisi selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar