mereposisi nilai lokal dalam arsitektur
mereposisi
mungkin maksudnya adalah mengembalikan ke posisi semula, dalam hal ini
adalah nilai lokal arsitektur. nilai lokal arsitektur yang bisa juga
kita lihat dari pengertian sebuah metode atau sistem yang sudah ada dan
asli dari daerah setempat (lokal). nilai-nilai lokal tersebut yang dalam
hal ini diterapkan dalam bidang arsitektur, membuat sebuah langgam
arsitektur yang biasanya kita sebut dengan arsitektur vernakular. dimana
dalam pelaksanaan pembangunannya banyak merespon hal-hal dan
nilai-nilai lokal, mulai dari cara membangun, tamplan struktur, material
bahan bangunan yang dipakai, sampai dengan pemecahan masalah terhadap
konteks alam.
kini,
nilai lokal mungkin sudah banyak ditinggalkan oleh sebagian kalangan
masyarakat, yang kaya mentang2 banyak uang, semaunya membangun,
celamitan dengan sebuah kata modern, lantas memberikan sentuhan yang
benar-benar modern abis. bukan nya tidak ada pengetahuan akan hal
tersebut, tapi tentu saja hal ini mungkin dalam rangka adu gengsi.
padahal yang indah tidak selalu modern, tidak meluluh dengan suatu hal
yang hightech, lux dan lain sebagainya.
nilai
lokal adalah sebuah kekayaan, anugrah dari Allah yang dalam prosesnya
mengalami trial and error. hal ini bukanlah sebuah nilai yang
sembarangan, justru nilai lokal seharusnya dijadikan sebuah best
performance di wilayah setempat (lokal). kenapa? karena dengan nilai
lokal yang dijaga dan dilestarikan, maka akan membuat sebuah ciri yang
unik dan berkarakter dari setiap daerah-daerah lokal tersebut. sehingga
memberikan atmosfer yang tidak menjenuhkan. coba bayangkan jika di
setiap daerah menyuguhkan sebuah tampilan yang sama seperti yang ada
dikota, oh my gosh ("-,-)q . semua bangunan seutuhnya mengambil bentuk
yang geometris, yaah semacam international style laah gitu. owalaaah ..
gak akan mencirikan sebuah setting tempat yang berbeda.
pada
seminar yang diadakan d cafe deli 48, mas emil menjelaskan bahwa
konteks lokalitas mencakup 3 hal, yang pertama adalah kultural
vernakular : mas emil menjelaskan , bahwa kultural vernakular yang
dimaksud adalah penggunaan material yang hanya diperoleh di daerah
setempat. kemudian juga penggunaan bahan-bahan yang tak terpakai, yang
dikenal dengan mericycle sampah-sampah. mas emil memberikan contoh.
yaitu pada salah satu hunian di bandung, mas emil menggunakan banyak
botol-botol bekas pada desain hunian in. dianataranya ada yang
diaplikasikan pada elemen dinding, dan juga pada pagar rumah. hasilnya
pun sangat menyenangkan dan benar-benar menakjubkan, pendar-pendar
cahaya yang masuk ke dalam ruang memberikan pola yang beraturan pada
lantai dan dinding ruang. kalo kata mas emil sih 'alam sedang berpuisi'
0_o ..
nah dari contoh ini,
sepertinya masuk pada katagori kultural vernakuler dalam spesifkasi
vernakuler. botol-botol berenergi ini banyak ditemukan di kota bandung.
daripada menambah jumlah sampah di bandung. maka dari itu botol-botol
ini dipilih mas emil untuk melengkapi desain hunian. dan justru malah
menjadi focal point pada hunian.
tampilan susunan botol-botol yang menjadi focal point pada tampilan fasad bangunan.
yang
kedua adalah mengenai sosial. dalam hal ini, apakah desain arsitektural
bisa merespon faktor sosial apa nggak? disini lah perlu adanya
kesensitifan terhadap lngkungan sekitar, esp. sosial masyarakat.
dan
yang ketiga adalah klimatologi, point inilah yang benar-benar
mencirikan sebuah lokalitas arsitektural. setiap negara, bahkan daerah
sekalipun mempunyai kondisi cuaca, iklim yang berbeda-beda. rumah tropis
tidak melulu memakai atap dengan teritisan lebar, untuk saat ini sudah
banyak plihan material, desain, dan tampilan fasad yang beraneka-ragam.
solusi terbaik adalah bagaimana material atau bentukan fasad yang baru
bisa merespon iklim tropis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar