Karakteristik Arsitektur Kolonial Belanda
Karakteristik Arsitektur Kolonial Belanda
dalam hal ini dapat dilihat dari segi periodisasi perkembangan
arsitekturnya maupun dapat pula ditinjau dari berbagai elemen ornamen
yang digunakan bangunan kolonial tersebut.
A. Periodisasi Arsitektur Kolonial Belanda
Helen Jessup dalam Handinoto (1996:
129-130) membagi periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di
Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian,
yaitu:
1. Abad 16 sampai tahun 1800-an
Pada waktu ini Indonesia masih disebut
sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan
perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).
Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya
pada bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu
orientasi bentuk yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan
tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan
setempat.
2. Tahun 1800-an sampai tahun 1902
Ketika itu, pemerintah Belanda mengambil
alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC. Setelah pemerintahan
Inggris yang singkat pada tahun 1811-1815. Hindia Belanda kemudian
sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Indonesia waktu itu diperintah dengan
tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab
itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum
kolonialis dengan membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur
(megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya
arsitektur neo-klasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur
nasional Belanda waktu itu.
3. Tahun 1902-1920-an
Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri
Belanda mendesak apa yang dinamakan politik etis untuk diterapkan di
tanah jajahan. Sejak itu, pemukiman orang Belanda tumbuh dengan cepat.
Dengan adanya suasana tersebut, maka “indische architectuur”
menjadi terdesak dan hilang. Sebagai gantinya, muncul standar arsitektur
yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat
gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.
4. Tahun 1920 sampai tahun 1940-an
Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan
dalam arsitektur, baik nasional maupun internasional di Belanda yang
kemudian memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja
arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi
kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme
(gaya campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang
memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda.
Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia
sebagai sumber pengembangannya.
Hampir serupa dengan Helen Jessup,
Handinoto (1996: 130-131) membagi periodisasi arsitektur kolonial di
Surabaya ke dalam tiga periode, yaitu: 1) perkembangan arsitektur antara
tahun 1870-1900; 2) perkembangan arsitektur sesudah tahun 1900; dan 3)
perkembangan arsitektur setelah tahun 1920. Perkembangan arsitektur
kolonial Belanda tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Perkembangan Arsitektur Antara Tahun 1870-1900
Akibat kehidupan di Jawa yang berbeda
dengan cara hidup masyarakat Belanda di negeri Belanda maka di Hindia
Belanda (Indonesia) kemudian terbentuk gaya arsitektur tersendiri. Gaya
tersebut sebenarnya dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW. Daendels yang
datang ke Hindia Belanda (1808-1811). Daendels adalah seorang mantan
jenderal angkatan darat Napoleon, sehingga gaya arsitektur yang
didirikan Daendels memiliki ciri khas gaya Perancis, terlepas dari
kebudayaan induknya, yakni Belanda.
Gaya arsitektur Hindia Belanda abad ke-19 yang dipopulerkan Daendels tersebut kemudian dikenal dengan sebutan The Empire Style. Gaya ini oleh Handinoto juga dapat disebut sebagai The Dutch Colonial. Gaya arsitektur The Empire Style adalah
suatu gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis,
bukan Belanda) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya
Hindia Belanda (Indonesia) yang bergaya kolonial, yang disesuaikan
dengan lingkungan lokal dengan iklim dan tersedianya material pada waktu
itu (Akihary dalam Handinoto, 1996: 132). Ciri-cirinya antara lain:
denah yang simetris, satu lantai dan ditutup dengan atap perisai.
Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya: terbuka, terdapat pilar di
serambi depan dan belakang, terdapat serambi tengah yang menuju ke
ruang tidur dan kamar-kamar lain. Ciri khas dari gaya arsitektur ini
yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya Yunani) yang menjulang ke
atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan
dan belakang. Serambi belakang seringkali digunakan sebagai ruang makan
dan pada bagian belakangnya dihubungkan dengan daerah servis (Handinoto,
1996: 132-133).
2) Perkembangan Arsitektur Sesudah Tahun 1900
Handinoto (1996: 163) menyebutkan bahwa,
bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900
merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi
dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada waktu yang
bersamaan dengan penyesuaian iklim tropis basah Indonesia. Ada juga
beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang mengambil
elemen-elemen tradisional setempat yang kemudian diterapkan ke dalam
bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda
di Indonesia tersebut adalah suatu bentuk khas yang berlainan dengan
arsitektur modern yang ada di Belanda sendiri.
Handinoto (1996: 151-163) juga
menguraikan bahwa, kebangkitan arsitektur Belanda sebenarnya dimulai
dari seorang arsitek Neo-Gothik, PJH. Cuypers (1827-1921) yang kemudian
disusul oleh para arsitek dari aliran Niuwe Kunst (Art Nouveau gaya Belanda) HP.
Berlage (185-1934) dan rekan-rekannya seperti Willem Kromhout
(1864-1940), KPC. De Bazel (1869-1928), JLM. Lauweriks (1864-1932), dan
Edward Cuypers (1859-1927). Gerakan Nieuw Kunst yang dirintis oleh Berlage di Belanda ini kemudian melahirkan dua aliran arsitektur modern yaitu The Amsterdam School serta aliran De Stijl. Adapun penjelasan mengenai arsitektur Art Nouveau, The Amsterdam School dan De Stijl dapat dijabarkan sebagai berikut:
a) Art Nouveau
Art Nouveau adalah gerakan
internasional dan gaya seni arsitektur dan diterapkan terutama pada
seni-seni dekoratif yang memuncak pada popularitas di pergantian abad 20
(1890-1905). Nama Art Nouveau adalah bahasa Perancis untuk
‘seni baru’. Gaya ini ditandai dengan bentuk organik, khususnya yang
diilhami motif-motif bunga dan tanaman lain, dan juga sangat bergaya
bentuk-bentuk lengkung yang mengalir. Gaya Art Nouveau dan
pendekatannya telah diterapkan dalam hal arsitektur, melukis, furnitur,
gelas, desain grafis, perhiasan, tembikar, logam, dan tekstil dan
patung. Hal ini sejalan dengan filosofi Art Nouveau bahwa seni harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Art_Nouveau).
b) The Amsterdam School
Arsitektur Amsterdam School, yang pada awalnya berkembang disekitar Amsterdam, berakar pada sebuah aliran yang dinamakan sebagai Nieuwe Kunst di Belanda. Nieuwe Kunst adalah versi Belanda dari aliran “Art Nouveau” yang masuk ke Belanda pada peralihan abad 19 ke 20, (1892-1904). Agak berbeda dengan ‘Art Nouveau‘, didalam dunia desain “Nieuwe Kunst”
yang berkembang di Belanda, berpegang pada dua hal yang pokok, pertama
adalah ‘orisinalitas’ dan kedua adalah ‘spritualitas’, disamping
rasionalitas yang membantu dalam validitas universal dari bentuk yang
diciptakan (de Wit dalam Handinoto, e-journal ilmiah Petra Surabaya).
Aliran Amsterdam Shool
menafsirkan ‘orisinalitas’ ini sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh
setiap perancang, sehingga setiap desain yang dihasilkan, harus
merupakan ekspresi pribadi perancangnya. Sedangkan ‘spritualitas’
ditafsirkan sebagai metode penciptaan yang didasarkan atas penalaran
yang bisa menghasilkan karya-karya seni (termasuk arsitektur), dengan
memakai bahan dasar yang berasal dari alam (bata, kayu, batu alam, tanah
liat, dsb.nya). Bahan-bahan alam tersebut dipasang dengan ketrampilan
tangan yang tinggi sehingga memungkinkan dibuatnya bermacam-macam
ornamentasi yang indah. Tapi semuanya ini harus tetap memperhatikan
fungsi utamanya.
Pada tahun 1915, ‘Nieuwe Kunst’ ini kemudian terpecah menjadi dua aliran. Pertama yaitu aliran Amsterdam School dan yang kedua adalah De Stijl.
Meskipun berasal dari sumber yang sama dan mempunyai panutan yang sama
(H.P. Berlage), tapi ternyata kedua aliran arsitektur ini mempunyai
perbedaan. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan bahwa Amsterdam School tidak pernah menerima mesin sebagai alat penggandaan hasil karya-karyanya. Hal ini berbeda dengan De Stijl,
yang menganggap hasil karya dengan gaya tersebut sebagai nilai estetika
publik atau estetika universal, dan bisa menerima mesin sebagai alat
pengganda karya-karyanya.
Pengertian lain mengenai Amsterdam School (Belanda: Amsterdamse School)
adalah gaya arsitektur yang muncul dari 1910 sampai sekitar 1930 di
Belanda. Gaya ini ditandai oleh konstruksi batu bata dan batu dengan
penampilan bulat atau organik, massa relatif tradisional, dan integrasi
dari skema yang rumit pada elemen bangunan luar dan dalam: batu
dekoratif, seni kaca, besi tempa, menara atau “tangga” jendela (dengan horizontal bar), dan diintegrasikan dengan sculpture
arsitektural. Tujuannya adalah untuk menciptakan pengalaman total
arsitektur, interior dan eksterior. (sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Amsterdam_School)
Di samping karakteristik diatas, ciri-ciri lain dari aliran Amsterdam School oleh Handinoto (dalam e-journal ilmiah Petra Surabaya), antara lain :
a) Bagi Amsterdam School,
karya orisinalitas merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap
perancang, sehingga setiap desain yang dihasilkan, harus merupakan
ekspresi pribadi perancangnya. Nilai estetika dari karya-karya aliran Amsterdam School bukan bersifat publik atau estetika universal. Itulah sebabnya Amsterdam School tidak pernah menerima mesin sebagai alat penggandaan hasil karyanya.
b) Bagi Amsterdam School mengekspresikan
ide dari suatu gagasan lebih penting dibanding suatu studi rasional
atas kebutuhan perumahan ke arah pengembangan baru dari jenis denah
lantai dasar suatu bangunan
c) Arsitek dan desainer dari aliran Amsterdam School melihat bangunan sebagai “total work of art”,
mereka melihat bahwa desain interior harus mendapat perhatian yang sama
sebagai gagasan yang terpadu dalam arsitektur itu sendiri, dan hal
tersebut sama sekali bukan merupakan hasil kerja atau produk mekanis.
Pada saat yang sama, mereka berusaha untuk memadukan tampak luar dan
bagian dalam (interior) bangunan menjadi suatu kesatuan yang utuh.
d) Bangunan dari aliran Amsterdam School biasanya
dibuat dari susunan bata yang dikerjakan dengan keahlian tangan yang
tinggi dan bentuknya sangat plastis; ornamen skulptural dan diferensiasi
warna dari bahan-bahan asli (bata, batu alam, kayu) memainkan peran
penting dalam desainnya.
e) Walaupun arsitek aliran Amsterdam School sering
bekerja sama dengan pemahat dan ahli kerajinan tangan lainnya, mereka
menganggap arsitektur sebagai unsur yang paling utama dan oleh karenanya
harus sanggup mendikte semua seni yang lain.
(Sumber:http://fportfolio.petra.ac.id/ e-jurnal ilmiah Petra Surabaya)
c) Gaya Arsitektur De Stijl
Gaya De Stijl dikenal sebagai neoplasticism, adalah gerakan artistik Belanda yang didirikan pada 1917. Dalam hal ini, neoplasticism sendiri dapat diartikan sebagai seni plastik baru. Pendukung De Stijl berusaha
untuk mengekspresikan utopia baru ideal dari keharmonisan spiritual dan
ketertiban. Mereka menganjurkan abstraksi murni dan universalitas
dengan pengurangan sampai ke inti bentuk dan warna; mereka
menyederhanakan komposisi visual ke arah vertikal dan horisontal, dan
hanya digunakan warna-warna primer bersamaan dengan warna hitam dan
putih.
Secara umum, De Stijl mengusulkan
kesederhanaan dan abstraksi pokok, baik dalam arsitektur dan lukisan
dengan hanya menggunakan garis lurus horisontal dan vertikal dan
bentuk-bentuk persegi panjang. Selanjutnya, dari segi warna adalah
terbatas pada warna utama, merah, kuning, dan biru, dan tiga nilai
utama, hitam, putih, dan abu-abu. Gaya ini menghindari keseimbangan
simetri dan mencapai keseimbangan estetis dengan menggunakan oposisi.
(sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/De_Stijl)
3) Perkembangan Arsitektur Setelah Tahun 1920
Akihary (dalam Handinoto, 1996: 237-238) menggunakan istilah gaya bangunan sesudah tahun 1920-an dengan nama Niuwe Bouwen yang
merupakan penganut dari aliran International Style. Seperti halnya
arsitektur barat lain yang diimpor, maka penerapannya disini selalu
disesuaikan dengan iklim serta tingkat teknologi setempat. Wujud umum
dari dari penampilan arsitektur Niuwe Bouwen ini menurut formalnya berwarna putih, atap datar, menggunakan gevel horizontal dan volume bangunan yang berbentuk kubus.
Gaya ini (Niuwe Bouwen/ New Building)
adalah sebuah istilah untuk beberapa arsitektur internasional dan
perencanaan inovasi radikal dari periode 1915 hingga sekitar tahun 1960.
Gaya ini dianggap sebagai pelopor dari International Style. Istilah “Nieuwe Bouwen”
ini diciptakan pada tahun dua puluhan dan digunakan untuk arsitektur
modern pada periode ini di Jerman, Belanda dan Perancis. Arsitek Nieuwe Bouwen nasional
dan regional menolak tradisi dan pamer dan penampilan. Dia ingin yang
baru, bersih, berdasarkan bahasa desain sederhana, dan tanpa hiasan.
Karakteristik Nieuwe Bouwen meliputi: a) Transparansi, ruang,
cahaya dan udara. Hal ini dicapai melalui penggunaan bahan-bahan modern
dan metode konstruksi. b) Simetris dan pengulangan yaitu keseimbangan
antara bagian-bagian yang tidak setara. c) Penggunaan warna bukan
sebagai hiasan namun sebagai sarana ekspresi.
(sumber: http://nl.wikipedia.org/wiki/Nieuwe_Bouwen)
Elemen-elemen bangunan bercorak Belanda
yang banyak digunakan dalam arsitektur kolonial Hindia Belanda
(Handinoto, 1996:165-178) antara lain: a) gevel (gable) pada tampak depan bangunan; b) tower; c) dormer; d) windwijzer (penunjuk angin); e) nok acroterie (hiasan puncak atap); f) geveltoppen (hiasan kemuncak atap depan); g) ragam hias pada tubuh bangunan; dan h) balustrade.
Referensi:
Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940.
Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi.
Yogyakarta: Andi Offset
Sumalyo, Yulianto. 1995. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Handinoto dan Hartono, Samuel. “The Amsterdam School” dan Perkembangan Arsitektur Kolonial di Hindia Belanda Antara 1915-1940. e-jurnal Ilmiah Petra Surabaya
Sumber :
http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/The%20Amsterdam%20School.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Amsterdam_School
http://en.wikipedia.org/wiki/Art_Deco
http://en.wikipedia.org/wiki/Art_Nouveau
http://en.wikipedia.org/wiki/De_Stijl
http://nl.wikipedia.org/wiki/Nieuwe_Bouwen
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar