Laman

Jumat, 11 November 2011

mereposisi nilai lokal dalam arsitektur


sedikit berbagi atas apa yang bisa saya tangkap ..
mereposisi mungkin maksudnya adalah mengembalikan ke posisi semula, dalam hal ini adalah nilai lokal arsitektur. nilai lokal arsitektur yang bisa juga kita lihat dari pengertian sebuah metode atau sistem yang sudah ada dan asli dari daerah setempat (lokal). nilai-nilai lokal tersebut yang dalam hal ini diterapkan dalam bidang arsitektur, membuat sebuah langgam arsitektur yang biasanya kita sebut dengan arsitektur vernakular. dimana dalam pelaksanaan pembangunannya banyak merespon hal-hal dan nilai-nilai lokal, mulai dari cara membangun, tamplan struktur, material bahan bangunan yang dipakai, sampai dengan pemecahan masalah terhadap konteks alam.

kini, nilai lokal mungkin sudah banyak ditinggalkan oleh sebagian kalangan masyarakat, yang kaya mentang2 banyak uang, semaunya membangun, celamitan dengan sebuah kata modern, lantas memberikan sentuhan yang benar-benar modern abis. bukan nya tidak ada pengetahuan akan hal tersebut, tapi tentu saja hal ini mungkin dalam rangka adu gengsi. padahal yang indah tidak selalu modern, tidak meluluh dengan suatu hal yang hightech, lux dan lain sebagainya.

nilai lokal adalah sebuah kekayaan, anugrah dari Allah yang dalam prosesnya mengalami trial and error. hal ini bukanlah sebuah nilai yang sembarangan, justru nilai lokal seharusnya dijadikan sebuah best performance di wilayah setempat (lokal). kenapa? karena dengan nilai lokal yang dijaga dan dilestarikan, maka akan membuat sebuah ciri yang unik dan berkarakter dari setiap daerah-daerah lokal tersebut. sehingga memberikan atmosfer yang tidak menjenuhkan. coba bayangkan jika di setiap daerah menyuguhkan sebuah tampilan yang sama seperti yang ada dikota, oh my gosh ("-,-)q . semua bangunan seutuhnya mengambil bentuk yang geometris, yaah semacam international style laah gitu. owalaaah .. gak akan mencirikan sebuah setting tempat yang berbeda.

pada seminar yang diadakan d cafe deli 48, mas emil menjelaskan bahwa konteks lokalitas mencakup 3 hal, yang pertama adalah kultural vernakular : mas emil menjelaskan , bahwa kultural vernakular yang dimaksud adalah penggunaan material yang hanya diperoleh di daerah setempat. kemudian juga penggunaan bahan-bahan yang tak terpakai, yang dikenal dengan mericycle sampah-sampah. mas emil memberikan contoh. yaitu pada salah satu hunian di bandung, mas emil menggunakan banyak botol-botol bekas pada desain hunian in. dianataranya ada yang diaplikasikan pada elemen dinding, dan juga pada pagar rumah. hasilnya pun sangat menyenangkan dan benar-benar menakjubkan, pendar-pendar cahaya yang masuk ke dalam ruang memberikan pola yang beraturan pada lantai dan dinding ruang. kalo kata mas emil sih 'alam sedang berpuisi' 0_o ..
nah dari contoh ini, sepertinya masuk pada katagori kultural vernakuler dalam spesifkasi vernakuler. botol-botol berenergi ini banyak ditemukan di kota bandung. daripada menambah jumlah sampah di bandung. maka dari itu botol-botol ini dipilih mas emil untuk melengkapi desain hunian. dan justru malah menjadi focal point pada hunian.

tampilan susunan botol-botol yang menjadi focal point pada tampilan fasad bangunan.

















yang kedua adalah mengenai sosial. dalam hal ini, apakah desain arsitektural bisa merespon faktor sosial apa nggak? disini lah perlu adanya kesensitifan terhadap lngkungan sekitar, esp. sosial masyarakat.

dan yang ketiga adalah klimatologi, point inilah yang benar-benar mencirikan sebuah lokalitas arsitektural. setiap negara, bahkan daerah sekalipun mempunyai kondisi cuaca, iklim yang berbeda-beda. rumah tropis tidak melulu memakai atap dengan teritisan lebar, untuk saat ini sudah banyak plihan material, desain, dan tampilan fasad yang beraneka-ragam. solusi terbaik adalah bagaimana material atau bentukan fasad yang baru bisa merespon iklim tropis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar